Senin, 20 Mei 2013

SENYUM MISTERI



            Suara klakson mobil di depan rumah ku membuat ku segera tersadar dan membuka pintu rumah ku, begitu pun dengan adikku. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Udara terasa sangat dingin. Langit masih berwarna hitam pekat. Sang surya masih berkelana di sisi lain bentang langit. Aku merasa sangat antusias untuk memulai hari ku ini. Peri - peri terasa tengah menjadi cheers sembari meneriakkan kata “Semangat, Kakak! Have a nice holiday!”. Aku dan adikku sedikit berlari menuju mobil pamanku itu, tak lupa Ayah dan Ibuku mengantar kami. Om Andri dan Bi Evi menyambut kedatangan kami dengan senyum hangatnya. Om Andri ialah adik pertama dari Ibuku. Dia menikah dengan Bi Evi dan tinggal di Karawang. Mereka datang ke Tasik bersama dengan dua anak mereka. Om Andri dan Bi Evi menanyakan bagaimana kabar Ayah dan Ibuku. Setelah berbincang - bincang singkat -yang aku pikir itu adalah cara mereka melepas rasa rindu mereka-, Ayah menitipkan aku dan adik ku kepada Om dan Bibiku. Aku berpamitan kepada Ayah dan Ibuku. Lalu, aku masuk ke dalam mobil.
            Di dalam mobil, aku melihat Ayahku -meskipun sebenarnya dia adalah Kakekku-, Nenekku, kedua sepupu kecilku, Revi dan Ravi, yang terlihat sangat menggemaskan. Di jok paling belakang, aku melihat Om Alik -adik kedua Ibuku- sedang terduduk diam dalam hangatnya balutan jaket yang dia kenakan, dan juga dengan musik yang dia dengarkan melalui headsetnya. Aku duduk di samping Om Alik, sementara adikku duduk di jok tengah. Setelah semuanya duduk manis di dalam mobil, Om Andri pun segera menyalakan mesin mobilnya dan melaju membawa ku bersama dengan angan-anganku yang indah untuk melalui hari ini. Aku menengok ke arah belakangku untuk melihat Ayah dan Ibuku. Semakin jauh mobil melaju, sosok Ayah dan Ibuku pun hilang ditelan kabut pagi yang menyentuh hati.
            Selama di perjalanan, aku tidak benar - benar memperhatikan jalan mana saja yang kami lewati, karena aku merasa masih mengantuk, hingga akhirnya aku pun tertidur kembali di dalam mobil. Beberapa kali aku terbangun dari tidurku, berharap bahwa aku sudah sampai di tempat tujuan. Tapi ternyata, jarak menuju tempat tujuan itu masih cukup jauh. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali tidur. Tiba - tiba saja aku kembali terbangun, aku melihat mobil Paman ku memasuki tempat pengisian bahan bakar. Aku pikir, Paman ku hanya akan mengisi bahan bakar, tetapi ternyata dia dan yang lainnya akan melaksanakan sholat Subuh. Aku segera melihat jam tanganku. Pukul setengah lima pagi. Terakhir kali aku melihat jam sebelumnya ialah pukul empat kurang. Mengapa waktu terasa berjalan begitu cepat ? Padahal aku merasa baru beberapa detik saja aku tertidur, tetapi sudah kembali bangun dalam waktu setengah jam kemudian.
            Aku segera mengusir peri - peri tidur yang ada di kepalaku. Aku membiarkan jiwaku terbangun untuk melaksanakan sholat Subuh. Aku berjalan mengikuti keluargaku yang lain sembari membawa mukenaku. Mushola di tempat pengisian bahan bakar ini terasa sangat menyejukkan, sesejuk hembusan nafas yang aku rasakan. Aku memasuki teras Mushola itu, lalu aku mengambil air wudhu. Airnya terasa lebih dingin dari air di rumahku, tetapi tidak sedingin air yang pernah aku rasakan saat aku pergi ke Gunung Tangkuban Perahu. Setelah selesai berwudhu, tak lupa aku membaca do’a, lalu aku masuk ke dalam rumah Allah itu. Saat itu, Mushola sedang dipenuhi oleh pengunjung, karena memang ini adalah waktu yang tepat untuk berlibur panjang. Aku menemukan sajadah kosong yang terhampar manis. Aku berjalan mendekatinya, aku mengenakan mukenaku, lalu mengerjakan sholat dua rakaat. Setelah selesai sholat, sejenak aku memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta alam semesta ini yang setiap sudutnya tak pernah luput dari keindahan Karunia-Nya. Nenekku meminta ku untuk mengantarnya ke toilet. Aku pun mengikuti permintaannya. Aku memegangi tas nenekku. Tak berapa lama, nenekku kembali keluar dari toilet, lalu kami segera kembali ke dalam mobil.
            Mobil kembali melaju di tengah keheningan pagi yang dingin. Di tengah perjalanan, mentari mulai menampakkan dirinya bersama dengan sinar jingga yang menghangatkan. Aku yang semula duduk lemas di dalam mobil, dengan segera menengakkan badanku. Cakrawala indah langit khatulistiwa bersama dengan mentari dan sinar jingganya itu telah menghipnotis ku. Aku tak bisa berkata apa - apa untuk beberapa saat. Tuhan, betapa indahnya hasil goresan tinta pelangi-Mu ini, tetapi  sepertinya ini hanya sebagian kecil dari keagungan-Mu saja. Setelah melihat langit jingga yang menawan itu, aku tak sedikit pun tertarik untuk kembali tertidur. Peri - peri dalam perutku pun terasa menari bersama dengan jingga, yang membuatku geli dan tersenyum sangat bahagia.
            Beberapa saat kemudian, aku dan keluargaku sampai di Pangandaran. Ya, Pangandaran, destinasi wisataku kali ini. Suara debur ombak menyambut aku dan keluargaku dengan gagahnya. Menurut ku, Pangandaran ialah salah satu pantai yang paling menarik untuk dikunjungi di Jawa Barat. Oleh sebab itu, beberapa meter dari gerbang masuk pun sangat macet. Aku melihat banyak sekali pengunjung yang antusias, begitupun dengan aku. Setelah berhasil masuk, Om Andri segera mencari tempat parkir yang tepat. Untuk mencari tempat parkir pun kami harus mengantre sangat lama. Aku mulai merasa panas berada di dalam mobil. Namun, aku hanya bisa diam berharap mobil ini segera mendapatkan tempat yang nyaman untuk beristirahat.
            Beberapa menit kemudian, kami berhasil menemukan tempat parkir yang tepat untuk mobil ini. Saat Om Andri membuka pintu, aku bersama yang lainnya segera berhamburan keluar dari dalam mobil. Rasa gerahku pun hilang tergantikan oleh semilir angin pantai yang menggoda ku untuk segera menjejakkan kakiku di pantai. Aku membantu keluargaku membawa barang - barang. Aku berjalan beberapa langkah hingga akhirnya aku bisa menginjak pasir pantai yang sudah lama aku rindukan. Menurut ku, berjalan di atas pasir pantai itu lebih menyenangkan daripada berjalan di jalanan yang beraspal. Sesekali, aku merasa kakiku tidak benar - benar berpijak di Bumi. Om dan Bibiku menyewa satu buah tikar besar dari pedagang di sekitar pantai. Nenekku segera mengeluarkan perbekalan yang sudah dia siapkan dari rumah. Masakan nenekku memang tidak kalah menggoda dari masakan Ibuku. Nenekku membawa daging sapi dengan bumbu khas, nasi timbel, dan yang tak tertinggal adalah sambal. Lezat sekali rasanya saat makan ditemani dengan sambal. Ayahku membeli beberapa ikan kecil dan udang kecil untuk melengkapi santapan pagi kami.
            Setelah selesai makan, aku dan Bibiku pergi menuju WC umum untuk berganti pakaian. Tak lama, kami kembali ke pantai. Aku segera bermain air bersama dengan keluargaku. Entah apa alasannya, aku merasa sangat bahagia ketika sudah bermain air, apalagi jika aku bermain bersama dengan orang - orang yang ku sayang. Gulungan - gulungan ombak yang menghampiri ku mampu membuat ku kembali merasa geli, namun kali ini rasa geli itu tak tertahan, aku tertawa dengan bebas bersama dengan yang lainnya. Om Andri, Bi Evi, dan Om Alik memotret kebersamaan kami yang aku yakin terlihat sangat menyenangkan. Lalu, Om Andri menyewa satu buah papan luncur. Kami bergiliran menggunakan papan luncur itu. Saat tiba giliran  ku, aku dengan senangnya berusaha untuk tetap seimbang saat berada di papan itu, namun yang aku dapatkan yaitu aku beberapa kali terjatuh, terhantam ombak - ombak yang bersorak riuh.
            Aku menepi, lalu duduk di pasir. Aku menatap lurus ke arah hamparan air laut yang tak hentinya mampu membuat ku tersenyum. Aku terbawa oleh angin pantai menuju langit ke tujuh. Aku merasa tengah memiliki sayap seperti bidadari yang sangat indah, meskipun hanya “seperti”. Tiba - tiba saja seseorang duduk di sampingku. Aku pikir orang itu adalah keluargaku. Namun, saat aku melihat wajahnya, aku terkejut. Laki - laki itu bukanlah keluargaku, bukan pula orang yang ku kenal. Aku berusaha untuk tetap tenang saat menyadari bahwa laki - laki duduk dengan jarak kurang dari 30 cm dari ku. Laki - laki itu terlihat lebih tua beberapa tahun dari ku. Raut wajah laki - laki itu terlihat sudah cukup dewasa, kulitnya putih, matanya sipit, dan tentu saja postur tubuhnya cukup baik. Selama beberapa saat, tak ada perbincangan di antara kami. Hingga akhirnya, seorang wanita meminta laki - laki itu untuk bergeser dan duduk di antara kami. Wanita itu pun tak aku kenali. Dia sedikit mundur dari tempatnya duduk.
Masih terjadi kebisuan di antara kami yang tidak saling mengenal. Memang terdengar wajar. Namun, ada hal yang membuat ku merasa semakin tidak wajar dengan aku yang rasakan. Laki - laki misterius itu menggambar panah ke arah ku di atas pasir. Aku terkejut. Aku takut. Bagaimana jika laki - laki dan wanita itu adalah mata - mata ? Bagaimana jika mereka bukan orang baik - baik ? Aku menjadi semakin was - was. Ingin sekali aku beranjak dari sana, namun rasanya sesuatu menahan ku untuk pergi dari sana. Hingga akhirnya, wanita yang mengenal laki - laki itu pun mengangguk dan berkata “Oh.”, lalu pergi membiarkan laki-laki itu berdua dengan ku lagi. Aku terus berusaha untuk tetap tidak memandang laki - laki itu. Aku kembali menatap laut Pangandaran yang indah, dan berhasil membawa ku seolah - olah kembali menikmati panorama menakjubkan di langit ke tujuh. Aku mulai bisa merasakan lagi kehadiran peri - peri kecil yang mengajak ku bermain. Menyenangkan.
“ Awas ada perahu ! ” sahut laki - laki yang duduk di samping ku sembari menepuk ku dengan lembut.
Aku segera terjaga dari lamunan surga dunia itu. Aku menoleh ke arah laki - laki itu yang mulai beranjak dari samping ku. Dia tersenyum. Cukup manis. Aku ingin sekali mengatakan terimakasih kepadanya dan meminta maaf kepadanya bahwa tadi aku telah berprasangka buruk terhadapnya, namun semua itu terasa tertahan, aku terasa membeku. Laki-laki itu pun pergi meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam benakku. Aku berdiri dari tempat dudukku, karena ternyata perahu yang akan berlabuh sudah semakin dekat dengan ku. Sesaat saja aku mengalihkan pandangan darinya, dia sudah menghilang begitu saja. Aku sempat berpikir, apakah ini hanya fantasi semuku saja ? Atau memang benar - benar nyata ? Jika ini memang benar nyata, ke mana keluargaku ? Mengapa aku tak melihat satu orang pun dari mereka saat aku tengah bersama laki - laki itu ? Dan mengapa laki - laki itu menghilang dengan cepat ?
Aku belum bisa menemukan semua jawaban dari pertanyaan - pertanyaan aku itu hingga aku pulang. Tak ada tanda - tanda yang menunjukkan akan kehadiran laki - laki itu lagi. Dalam hati, aku hanya berharap aku bisa bertemu lagi dengan laki - laki itu. Aku ingin meminta maaf dan berterimakasih kepadanya. Semua keinginan dan pertanyaan - pertanyaan aku itu pun terbawa oleh alunan debur ombak yang menyiratkan pesan misteri di dalamnya. Dan aku menunggu balasan pesan itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar