Pagi itu, seorang wanita dengan
wajah lembut membangunkanku. Sinar matahari menyinari wajahnya. Begitu
menenangkan. Ani, itulah namanya. Aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, Ya,
dialah Ibuku. Ibu yang merawatku sejak empat belas tahun yang lalu. Meskipun
aku tidak terlahir dari rahimnya sendiri, tetapi dia merawatku dengan penuh
rasa cinta dan kasih sayang. Begitupun denganku, aku mencintainya,
menyayanginya bahkan aku rela berkorban untuknya, karena dialah satu-satunya
keluargaku, dan harapan hidupku. Tanpa dia, aku hanyalah seutas tali yang
tertimbun oleh lembaran-lembaran kain kehidupan. Ibu Ani membawa dan merawatku
saat Ayah dan Ibu kandungku pergi meninggalkanku sendiri di Rumah Sakit. Aku
hanya ditemani sebuah nama yang tertulis pada selembar kertas. Anabela Lukita.
Itulah namaku.
“Abel, hari ini kamu ada ujian kan?” tanya Ibu.
“Oh iya, Bu, Abel hampir lupa.”
“Kamu mandi dulu terus nanti sarapan bareng Ibu.”
Aku segera mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah beberapa menit, aku keluar dari kamar mandi dan memakai pakaian seragam
putih biruku. Aku memandangi diriku di cermin. Betapa beruntungnya aku.
Walaupun tanpa Ayah dan Ibu kandung di sisiku, aku masih bisa menikmati
hidupku. Tapi terkadang, aku merasa aku bukan apa-apa, mengingat Ayah dan Ibu
meninggalkanku begitu saja. Aku merasa seperti sampah. Tapi sudahlah, Tuhan
telah mengirimkan malaikat penyelamat untukku. Di mana aku merasa menjadi
anugerah, bukan menjadi sampah. Di ruang makan, aku menemukan Ibu Ani
dan sahabatku sedang berbincang-bincang. Keberadaan mereka membuat hidupku
terasa semakin lengkap. Mereka selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur.
Terimakasih, Tuhan.
“Hi, Arkan !” sapaku.
“Hi, Bel ! Mau berangkat bareng kan?” tanyanya.
Aku mengangguk. Aku pamit kepada Ibu. Tetapi, Ibu menyuruh aku dan Arkan untuk
sarapan terlebih dahulu. Setelah itu, barulah aku dan Arkan diperbolehkan untuk
pergi.
07.45 pagi...
Aku mulai merasa gugup saat aku memasuki halaman sekolah masa depanku. Hari
ini, aku dan Arkan akan mengikuti ujian untuk masuk menjadi siswa baru di SMA.
Pikiranku mulai melayang-layang. Aku mulai khawatir. Aku takut tidak akan
diterima di sekolah ini. Aku dan Arkan akan mengikuti ujian di ruangan yang berbeda. Arkan
mengantarku hingga ke depan kelas. Dia menggenggam tanganku, tersenyum
kepadaku, dan berkata, “Kita pasti diterima.”. Senyumnya membuatku merasa
tenang. Rasa khawatir yang aku rasakan pun perlahan mulai hilang. Dia Muhammad Arkana Bhagaskara, sosok
laki-laki yang membuat aku merasa sangat aman dan nyaman ketika berada di
dekatnya. Aku dan dia berteman sejak kelas 1 SMP dulu. Kami berteman dengan
baik. Dia selalu melindungiku. Aku sudah menganggapnya seperti Kakakku sendiri.
Dan, aku menyayanginya…
Ujian pun dimulai. Aku menguatkan tekadku untuk masuk ke SMA favorit ini. Aku bersungguh-sungguh
dalam menjawab setiap pertanyaan. Aku merasa sangat yakin. Aku berdo’a semoga
aku dan Arkan diterima di sekolah ini. Dan aku pun berharap semoga kami dapat
menjadi teman sekelas lagi.
Ujian selesai. Semua murid di kelasku pergi meninggalkan ruangan. Saat aku
beranjak dari tempat dudukku, aku nyaris terjatuh. Seorang laki-laki berlari
dari belakang dan menabrakku. Telpon
genggamku terbanting dan menghantam lantai. Aku sangat terkejut. Laki-laki yang
menabrakku segera mengambil telpon
genggamku dan memberikannya kepadaku. Aku masih belum bisa berkata apa-apa.
Laki-laki itu menatapku. Aku balas menatapnya dengan tatapan dan emosi yang
kacau.
“Duh, maaf banget ya, aku gak sengaja. Kalau rusaknya parah, aku ganti deh. Ini
kartu nama aku. Kamu boleh minta ganti rugi berapa aja yang kamu mau.” sahut
laki-laki yang menabrakku itu.
Hatiku mulai terasa panas. Ingin sekali aku memarahinya. Tapi hati kecilku berkata lain. Dia berkata, “Sudahlah,
laki-laki itu tak mungkin sengaja menabrakmu.”. Baiklah, untuk sekarang aku
berhasil meredam emosiku. Aku akan memaafkan laki-laki itu.
“Hey, kamu gak ngedengar yang aku bilang barusan ya?” tanyanya kepadaku yang
sedari tadi memasang wajah seperti sedang melamun dan
membingungkan.
“Oh, ya. Gak apa-apa kok. Aku tahu kamu gak sengaja.” jawabku.
“Nama aku Ghazlan Barra Danial. Kamu bisa panggil
aku Barra. Nama kamu siapa?” ujar laki-laki yang bernama Barra itu.
“Aku Abel.”
Aku menerima kartu nama darinya. Saat aku melihat ke pintu, di
sana ada Arkan yang sedang memperhatikan aku dan Barra. Dia terlihat tidak suka
kepadaku. Aku menghampirinya. Dan ternyata, dia tetap memberikan senyumnya yang
hangat untukku. Senangnya. Arkan berkata kepadaku bahwa sedari tadi dia
menungguku. Aku meminta maaf kepadanya. Tetapi dia hanya membalas dengan senyum
hangatnya lagi. Dan Arkan mengantarku pulang.
10.15..
Sesampainya di rumah, Ibu menyambutku dengan wajah lembutnya. Aku menyuruh
Arkan untuk masuk ke dalam rumah, tetapi dia menolaknya. Dia berkata bahwa
temannya sudah menunggunya di rumah. Dia pamit kepada aku dan Ibu. Lalu dia
pergi bersama motornya. Aku merasakan ada yang berbeda dengannya sejak kami
akan pulang. Aku masih merasa bersalah dengannya. Aku masuk ke dalam rumah
bersama Ibu. Di dalam rumah, aku masih memikirkan Arkan. Aku mulai merasa takut.
Aku takut kehilangan sahabat terbaikku.
Esok hari..
Pagi ini Arkan tak datang ke rumahku. Terpaksa, aku berangkat sendiri ke SMA
menggunakan angkot. Aku menunggu angkot di tepi jalan di dekat rumahku. Lama
sekali. Hingga akhirnya, datanglah seseorang yang berbaik hati menawariku untuk
pergi bersamanya ke SMA. Aku sempat ragu untuk menerima tawarannya itu. Tapi,
ya sudahlah aku terima. Aku tidak ingin terlambat datang ke SMA masa depanku
itu. Hari ini, penerimaan siswa baru telah dibuka. Aku berharap aku diterima, begitu juga Arkan. Oh iya, Arkan. Aku masih
bertanya-tanya ada apa dengan Arkan. Mengapa sejak hari ujian itu Arkan tak
pernah menghubungiku lagi ? Bahkan Arkan tak menjemputku pagi ini. Apa aku
telah berbuat salah yang besar hingga aku melukai hatinya ? Apa dia tidak suka
melihat aku bersama dengan Barra ? Aku merasa semakin bersalah. Tuhan,
pertemukanlah aku dan Arkan.
Sesampainya di SMA, aku dan Barra (laki-laki yang berbaik hati mengantarku pagi
ini) segera melihat papan pengumuman. Dan aku diterima di sekolah ini. Begitu
pun dengan Barra. Aku senang sekali. Ayah, Ibu, jika kalian mengetahui semua
ini, aku harap kalian akan senang melihat anak yang dulu kalian tinggalkan dan
kalian biarkan sendirian di tengah-tengah perihnya kehidupan ini sudah besar,
berhasil masuk ke sekolah favorit dengan nilai terbaik. Aku merindukan kalian,
meskipun aku tidak tahu apakah di sana kalian merindukanku atau tidak. Sudah,
aku tidak ingin galau hari ini. Oh iya, bagaimana dengan Arkan? Apakah dia
diterima juga di sekolah ini ? Aku segera mencari namanya. Dan benar saja,
Arkan pun diterima di sekolah ini. Hatiku merasa semakin senang. Aku
menghubunginya. Berharap Arkan akan menjawab panggilan dariku pagi ini.
Beberapa detik menunggu, akhirnya seseorang di ujung sana menjawab panggilanku.
Tetapi bukan Arkan yang berbicara di telpon,
melainkan seorang wanita dan aku mengenali suaranya. Wanita itu adalah Arini
Candrarini Bhagaskara, dia Kakak perempuan Arkan, aku biasa memanggilnya Mbak
Rini. Suaranya serak, seperti sedang merasakan sakit yang sangat dalam. Aku
menanyakan Arkan. Betapa terkejutnya aku saat mendengar apa yang Mbak Rini katakan. Bendungan air mataku mulai terasa akan
pecah. Aku menahannya. Aku berharap bahwa yang dikatakan Mbak Rini tadi tidak
benar. Aku segera berlari ke luar dari sekolah meninggalkan Barra bersama
dengan seruannya yang memanggil namaku.
Rumah Arkan..
Rumah Arkan memang terkesan mewah dan indah. Aku biasanya senang saat akan
bermain di rumahnya. Tetapi kali ini tidak, rumahnya sangat kelabu, seperti
tertutupi awan-awan hitam yang siap menurunkan berjuta tetes hujan di atasnya. Aku pun merasa setengah hati
untuk masuk ke dalam rumah Arkan. Mbak Rini datang menghampiriku dengan matanya
yang besar dan membengkak. Air mata masih mengalir deras di pipinya. Mbak Rini
memelukku. Air mata yang sejak tadi masih tersimpan di dalam mataku pun tak
bisa lagi aku bendung. Kesedihan mulai datang menyelimuti diriku. Jiwaku tak
mampu lagi menahan beratnya duka yang ada di dalam hati. Ragaku mulai terasa
lemas. Mbak Rini membawaku masuk ke dalam rumah, dan menuntunku menuju kamar
Arkan. Saat aku sudah berada di kamar Arkan, jiwaku terasa melayang ketika
melihat sosok yang selama ini selalu menjagaku dari kekejaman dunia, menemani
hari-hariku sejak aku terbangun hingga aku terlelap, kini sudah tiada. Aku
kehilangannya. Aku kehilangannya untuk selamanya. Dia takkan mengisi
hari-hariku lagi dengan sejuta warna indahnya. Aku merasa seperti kelabu.
Awan-awan yang sedari tadi menyelimuti rumah ini kini telah menurunkan berjuta
air mata yang turun karena goresan luka dihati yang begitu mendalam. Tubuh
Arkan terbaring kaku di atas tempat tidurnya. Tak ada lagi nafas yang terhembus
dari mulutnya. Tak ada lagi senyum hangat darinya. Hanya ada kedinginan yang
menemani kami di sini. Aku merasa hampa, kosong. Hatiku hancur menjadi
butiran-butiran debu yang terjatuh hingga menuju relung hati yang paling dalam.
Aku merasa aku takkan bisa lagi menemukan seorang sahabat sepertinya. Dialah
laki-laki yang sangat aku sayangi dan aku cintai. Ya, aku baru sadar, aku tidak
hanya menyayanginya sebagai seorang sahabat, tetapi aku pun mencintainya lebih
dari itu. Detik demi detik yang aku lewati terasa begitu lama. Waktu sepertinya
masih senantiasa memberikan kesempatan kepadaku untuk mengenang dan merasakan
kenangan-kenangan indah yang terukir begitu melekat di dalam hatiku dan Arkan.
Arkan, jika kau masih berada di sini, dengar suara hatiku ini, aku
menyayangimu, aku mencintaimu wahai sahabatku. Aku pengen kamu tetap ada di
sini. Apa kamu udah gak peduli lagi sama aku? Aku butuh kamu, Kan. Aku belum
siap kalau harus jauh dari kamu buat selamanya.
Senja di hari itu..
Sinar matahari mengantarkan kepergian Arkan ke tempat tidur terakhirnya. Kami
masih diselimuti duka dan tangis. Bunga-bunga yang kami bawa pun terasa ikut
menangis ketika harus merelakan kepergian sosok ksatria yang tegar namun
berhati lembut telah pergi untuk selamanya. Arkan memang tegar
dalam menghadapi kehidupannya. Meskipun dia selalu diikuti bayangan kematian.
Tadi siang Mbak Rini bercerita kepadaku bahwa selama 15 tahun ini, Arkan
menjalani hidupnya dengan harus menahan sakit yang dideritanya. Aku merasa
terharu dan juga bersalah. Sebagai seorang sahabat, mengapa aku baru mengetahui
sakit yang diderita Arkan pada hari ini? Hari di mana Arkan pergi meninggalkan
kami semua untuk selamanya. Tapi memang, sebagai ksatria sejati, ia tak pernah
mengeluhkan hal seperti itu. Ia sosok yang sangat kuat.
Kelabu, hitam, dan kelam. Itulah warna yang tersirat dari tempat pemakaman ini.
Burung-burung berterbangan, melantunkan alunan nada kematian. Do’a-do’a tak
henti terucap dari hati dan mulut kami. Arkan, semoga kamu tenang ya di alam
sana. Semoga semua kebaikan kamu bisa nolong kamu di sana. Semoga kamu gak
bakal pernah lupa sama kami. Semoga kamu selalu ditemani malaikat-malaikat yang
baik hati. Aku selalu berdo’a buat kamu. Kamu dengar semua yang aku bilang
barusan kan?
“Bel, Arkan titip surat ini buat kamu.” ujar Mbak Rani sembari memberikan surat
untukku.
Aku membaca surat yang tertulis di kertas putih itu. Aku membukanya dengan penuh perasaan. Aku membaca kata demi kata yang
sahabatku tulis di kertas itu. Air mata kembali membasahi pipiku. Aku merasakan
kasih sayang Arkan saat dia menulis surat itu. Aku pun seolah merasakan sakit
yang selalu ia tutupi dengan hangat senyumnya. Dia menuliskan betapa bahagianya
dia telah mengenal wanita sepertiku. Wanita yang menurutnya penuh dengan
perhatian, keceriaan, dan selalu tersenyum meskipun hatinya sedang menangis.
Arkan masih mengingat setiap kenangan yang telah kami lewati bersama. Semuanya
memang terasa sangat manis. Ketika seorang sahabat selalu ada untuk kita. Entah
itu saat kita bahagia maupun saat kita sedang merasakan duka yang sangat
mendalam seperti saat ini. Meskipun Arkan takkan mungkin lagi hadir di
sampingku, tetapi jiwanya selalu melekat dihatiku. Kalimat terakhir dalam surat
itu adalah “Ikhlaskanlah kepergian ragaku ini. Percayalah, jiwaku selalu
bersamamu. Aku masih akan selalu ada untukmu. Datanglah ke tempat tidur
terakhirku ini jika kau sangat merindukanku, peri cintaku..”
Aku akan merelakan kepergian ragamu ini. Aku lakukan demi kau, sahabatku. Aku
harap persahabatan kita takkan berakhir sampai di sini. Meskipun kini kita tak
lagi berada di dunia yang sama. Di sini, aku kan selalu merindukanmu. Dan kau
di sana, tunggu aku. Aku akan bersamamu lagi bila tiba saatnya nanti.
22.00 ..
Ku tutup hariku ini dengan do’a-do’a yang
senantiasa terucap dari tulusnya hati. Arkan, ingin rasanya aku mengetahui
bagaimana keadaanmu malam ini ? Baru saja kau meninggalkanku beberapa jam yang
lalu, tetapi aku sudah merasakan kerinduan yang menyesakan. Tetapi kau tak
perlu cemas. Aku masih mengingat kata-kata terakhirmu untukku. Aku akan
melakukan apa yang kau inginkan. Tak lupa juga aku mendo’akan Ayah dan Ibuku.
Semoga mereka baik-baik saja dan bahagia tanpaku di sana. Ayah, Ibu, aku ingin
bertemmu dengan kalian. Aku ingin mengatakan bahwa sekarang aku sudah mulai
menginjak remaja. Aku sekarang sekolah di SMA favorit.
Tuhan, ku mohon tolong
sampaikan pesan-pesanku dan salamku untuk Ayah, Ibu, dan Arkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar