Senin, 31 Desember 2012

For 2013


Embun pagi telah menguap oleh hangatnya mentari. Seiring dengan detik yang terus berjalan, mentari menempati titik meridiannya, yang kemudian turun perlahan, menunggu dan senantiasa menanti planet-planet berputar, dan memberikan seberkas cahaya bagi penghuni tata surya. Kala sore tiba, langit mulai terhiasi senja. Meskipun hujan masih ingin memberikan kesegaran tetes-tetes air di kota ini. Namun, senja tetaplah senja, yang selalu menyimpan keindahan yang agung atas ciptaan-Nya. Dan kini, malam telah tiba, membangkitkan setiap jiwa yang rindu akan kemeriahan menyambut datangnya tahun yang baru. Tahun yang akan memberikan sesuatu yang 'baru' untuk kita, meskipun hanya seperti setetes air hujan dalam naungan langit malam ..

Jumat, 23 November 2012

Benderang Dibalik Gulita

Amanat hati yang telah terikat
Nestapa bumi yang tengah terpecah
Nadakan simphony kematian
Indah memang jika tak ada dusta
Seruan-seruan alam di bawah langit
Asingkan raga yang tak mampu bertahan

Pucuk mega yang terhampar di langit
Ulasan benderang dibalik gulita
Tidurkan jiwa-jiwa tak berdosa
Riang tawa yang dulu ada
Itu kini hanya sebatas khayal dalam mimpi yang tak pernah berakhir

Derita
Ingin sekali ku meniupkannya hingga tak kembali
Elegi
Rasa yang ingin ku lenyapkan
Amarah
Yang ingin ku hempaskan
Asmara
Nuranikan cinta yang ingin sekali ku rasakan
Isukan kedamaian di atas kehampaan

(Cipt. Farda Rahma Amalia)

Sabtu, 17 November 2012

Desah Perjuangan

Rindang dedaunan di malam itu
Indah sinar rembulan di kala itu
Desah perjuangan yang kuat
Hilangkan sebuah kesunyian yang menerpa
Arungi sungai kebahagiaan yang mengalir lembut

Rasa akan cinta
Angan untuk terbang
Hidupi sebuah lilin dalam kegelapan
Mematikan sebuah kegelisahan
Aura metafora yang terbangun
Nama yang penuh arti
Iringi setiap hembusan nafas
Keluh kesah yang tercipta
Anginkan debu yang menyesakkan

Andaikan aku mempunyai waktu lebih lama
Lekuk kehidupan akan terus ku jalani dengan senyuman
Meskipun raga kian mendesak
Amarah tak kunjung pergi
Tak akan menghempaskan jiwaku begitu saja
Intan permata kan tetap bersinar
Naungi sisa nafas yang ku punya

(Cipt. Farda Rahma Amalia)

Puspa Melatiku

Asa kehidupan yang pernah ku rasa
Noda kusam yang pernah tertulis
Desir pantai yang menyentuhku
Iringkan kata-kata hatiku
Akan ku hapus tinta kotor dalam suciku
Nirmala awan kan menemaniku
Indahkan lembaran baru dalam hidupku

Puspa melati yang mewangi
Redupkan hitam dalam putihku
Aku bagaikan bulan yang baru terlahir
Tak ada lagi setetes noda tinta dalam hatiku
Ini adalah hidupku
Waktu akan setia menemani ragaku
Isikan kenangan manis untuk diriku

(Cipt. Farda Rahma Amalia)

Kertas Kehidupanku

Ayat - ayat cinta yang kau ucapkan
Impian - impian rindu yang kau ungkapkan
Naluri jiwa yang kau korbankan
Iringi detik - detikku yang kan berakhir

Andaikan Tuhan memberikan waktu emas untukku
 Ingin ku merasakan kembali setiap kenangan yang telah terukir
Namamu yang tertulis dalam kertas suci hidupku
Isyaratkan akan cinta yang tak kan pernah berakhir

(Cipt. Farda Rahma Amalia)

Lembayung Kebahagiaan

Saat September baru saja menghampiri
Saat awan masih setia melindungi
Saat langit senantiasa menemani
Dan saat itulah terlahir sebuah harapan

Farda, itulah aku
Aku terlahir dalam kesederhanaan
Romansa nama yang tercipta dalam lembayung kebahagiaan
Dan tak lepas dari arti sebuah kesunyian

Dengan sebuah arti menyendiri
Seringkali aku merasakan sepi
Aku ingin selalu melihat pelangi
Meskipun rasa sunyi enggan untuk pergi

Angin, bisikanlah melodi indah untukku
Burung, senandungkanlah nada-nada kedamaian bagiku
Matahari, sinarilah jalanku ini
Dan cinta, temani ragaku hingga mataku kan terpejam untuk selamanya

(Cipt. Farda Rahma Amalia)

Selasa, 25 September 2012

Senja Kelabu


        Pagi itu, seorang wanita dengan wajah lembut membangunkanku. Sinar matahari menyinari wajahnya. Begitu menenangkan. Ani, itulah namanya. Aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, Ya, dialah Ibuku. Ibu yang merawatku sejak empat belas tahun yang lalu. Meskipun aku tidak terlahir dari rahimnya sendiri, tetapi dia merawatku dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Begitupun denganku, aku mencintainya,  menyayanginya bahkan aku rela berkorban untuknya, karena dialah satu-satunya keluargaku, dan harapan hidupku. Tanpa dia, aku hanyalah seutas tali yang tertimbun oleh lembaran-lembaran kain kehidupan. Ibu Ani membawa dan merawatku saat Ayah dan Ibu kandungku pergi meninggalkanku sendiri di Rumah Sakit. Aku hanya ditemani sebuah nama yang tertulis pada selembar kertas. Anabela Lukita. Itulah namaku.
                “Abel, hari ini kamu ada ujian kan?” tanya Ibu.
                “Oh iya, Bu, Abel hampir lupa.”
                “Kamu mandi dulu terus nanti sarapan bareng Ibu.”
              Aku segera mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, aku keluar dari kamar mandi dan memakai pakaian seragam putih biruku. Aku memandangi diriku di cermin. Betapa beruntungnya aku. Walaupun tanpa Ayah dan Ibu kandung di sisiku, aku masih bisa menikmati hidupku. Tapi terkadang, aku merasa aku bukan apa-apa, mengingat Ayah dan Ibu meninggalkanku begitu saja. Aku merasa seperti sampah. Tapi sudahlah, Tuhan telah mengirimkan malaikat penyelamat untukku. Di mana aku merasa menjadi anugerah, bukan menjadi sampah. Di ruang makan, aku menemukan Ibu Ani dan sahabatku sedang berbincang-bincang. Keberadaan mereka membuat hidupku terasa semakin lengkap. Mereka selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur. Terimakasih, Tuhan.
                “Hi, Arkan !” sapaku.
                “Hi, Bel ! Mau berangkat bareng kan?” tanyanya.
                Aku mengangguk. Aku pamit kepada Ibu. Tetapi, Ibu menyuruh aku dan Arkan untuk sarapan terlebih dahulu. Setelah itu, barulah aku dan Arkan diperbolehkan untuk pergi.

07.45 pagi...
                Aku mulai merasa gugup saat aku memasuki halaman sekolah masa depanku. Hari ini, aku dan Arkan akan mengikuti ujian untuk masuk menjadi siswa baru di SMA. Pikiranku mulai melayang-layang. Aku mulai khawatir. Aku takut tidak akan diterima di sekolah ini. Aku dan Arkan akan mengikuti ujian di ruangan yang berbeda. Arkan mengantarku hingga ke depan kelas. Dia menggenggam tanganku, tersenyum kepadaku, dan berkata, “Kita pasti diterima.”. Senyumnya membuatku merasa tenang. Rasa khawatir yang aku rasakan pun perlahan mulai hilang. Dia Muhammad Arkana Bhagaskara, sosok laki-laki yang membuat aku merasa sangat aman dan nyaman ketika berada di dekatnya. Aku dan dia berteman sejak kelas 1 SMP dulu. Kami berteman dengan baik. Dia selalu melindungiku. Aku sudah menganggapnya seperti Kakakku sendiri. Dan, aku menyayanginya…
                Ujian pun dimulai. Aku menguatkan tekadku untuk masuk ke SMA favorit ini. Aku bersungguh-sungguh dalam menjawab setiap pertanyaan. Aku merasa sangat yakin. Aku berdo’a semoga aku dan Arkan diterima di sekolah ini. Dan aku pun berharap semoga kami dapat menjadi teman sekelas lagi.
                Ujian selesai. Semua murid di kelasku pergi meninggalkan ruangan. Saat aku beranjak dari tempat dudukku, aku nyaris terjatuh. Seorang laki-laki berlari dari belakang dan menabrakku. Telpon genggamku terbanting dan menghantam lantai. Aku sangat terkejut. Laki-laki yang menabrakku segera mengambil telpon genggamku dan memberikannya kepadaku. Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Laki-laki itu menatapku. Aku balas menatapnya dengan tatapan dan emosi yang kacau.
                “Duh, maaf banget ya, aku gak sengaja. Kalau rusaknya parah, aku ganti deh. Ini kartu nama aku. Kamu boleh minta ganti rugi berapa aja yang kamu mau.” sahut laki-laki yang menabrakku itu.
                Hatiku mulai terasa panas. Ingin sekali aku memarahinya. Tapi hati kecilku berkata lain. Dia berkata, “Sudahlah, laki-laki itu tak mungkin sengaja menabrakmu.”. Baiklah, untuk sekarang aku berhasil meredam emosiku. Aku akan memaafkan laki-laki itu.
                “Hey, kamu gak ngedengar yang aku bilang barusan ya?” tanyanya kepadaku yang sedari tadi memasang wajah seperti sedang melamun dan membingungkan.
                “Oh, ya. Gak apa-apa kok. Aku tahu kamu gak sengaja.” jawabku.
               “Nama aku Ghazlan Barra Danial. Kamu bisa panggil aku Barra. Nama kamu siapa?” ujar laki-laki yang bernama Barra itu.
                “Aku Abel.”
            Aku menerima kartu nama darinya. Saat aku melihat ke pintu, di sana ada Arkan yang sedang memperhatikan aku dan Barra. Dia terlihat tidak suka kepadaku. Aku menghampirinya. Dan ternyata, dia tetap memberikan senyumnya yang hangat untukku. Senangnya. Arkan berkata kepadaku bahwa sedari tadi dia menungguku. Aku meminta maaf kepadanya. Tetapi dia hanya membalas dengan senyum hangatnya lagi. Dan Arkan mengantarku pulang.

10.15..
                Sesampainya di rumah, Ibu menyambutku dengan wajah lembutnya. Aku menyuruh Arkan untuk masuk ke dalam rumah, tetapi dia menolaknya. Dia berkata bahwa temannya sudah menunggunya di rumah. Dia pamit kepada aku dan Ibu. Lalu dia pergi bersama motornya. Aku merasakan ada yang berbeda dengannya sejak kami akan pulang. Aku masih merasa bersalah dengannya. Aku masuk ke dalam rumah bersama Ibu. Di dalam rumah, aku masih memikirkan Arkan. Aku mulai merasa takut. Aku takut kehilangan sahabat terbaikku.

Esok hari..
                Pagi ini Arkan tak datang ke rumahku. Terpaksa, aku berangkat sendiri ke SMA menggunakan angkot. Aku menunggu angkot di tepi jalan di dekat rumahku. Lama sekali. Hingga akhirnya, datanglah seseorang yang berbaik hati menawariku untuk pergi bersamanya ke SMA. Aku sempat ragu untuk menerima tawarannya itu. Tapi, ya sudahlah aku terima. Aku tidak ingin terlambat datang ke SMA masa depanku itu. Hari ini, penerimaan siswa baru telah dibuka. Aku berharap aku diterima, begitu juga Arkan. Oh iya, Arkan. Aku masih bertanya-tanya ada apa dengan Arkan. Mengapa sejak hari ujian itu Arkan tak pernah menghubungiku lagi ? Bahkan Arkan tak menjemputku pagi ini. Apa aku telah berbuat salah yang besar hingga aku melukai hatinya ? Apa dia tidak suka melihat aku bersama dengan Barra ? Aku merasa semakin bersalah. Tuhan, pertemukanlah aku dan Arkan.
                Sesampainya di SMA, aku dan Barra (laki-laki yang berbaik hati mengantarku pagi ini) segera melihat papan pengumuman. Dan aku diterima di sekolah ini. Begitu pun dengan Barra. Aku senang sekali. Ayah, Ibu, jika kalian mengetahui semua ini, aku harap kalian akan senang melihat anak yang dulu kalian tinggalkan dan kalian biarkan sendirian di tengah-tengah perihnya kehidupan ini sudah besar, berhasil masuk ke sekolah favorit dengan nilai terbaik. Aku merindukan kalian, meskipun aku tidak tahu apakah di sana kalian merindukanku atau tidak. Sudah, aku tidak ingin galau hari ini. Oh iya, bagaimana dengan Arkan? Apakah dia diterima juga di sekolah ini ? Aku segera mencari namanya. Dan benar saja, Arkan pun diterima di sekolah ini. Hatiku merasa semakin senang. Aku menghubunginya. Berharap Arkan akan menjawab panggilan dariku pagi ini. Beberapa detik menunggu, akhirnya seseorang di ujung sana menjawab panggilanku. Tetapi bukan Arkan yang berbicara di telpon, melainkan seorang wanita dan aku mengenali suaranya. Wanita itu adalah Arini Candrarini Bhagaskara, dia Kakak perempuan Arkan, aku biasa memanggilnya Mbak Rini. Suaranya serak, seperti sedang merasakan sakit yang sangat dalam. Aku menanyakan Arkan. Betapa terkejutnya aku saat  mendengar apa yang Mbak Rini katakan. Bendungan air mataku mulai terasa akan pecah. Aku menahannya. Aku berharap bahwa yang dikatakan Mbak Rini tadi tidak benar. Aku segera berlari ke luar dari sekolah meninggalkan Barra bersama dengan seruannya yang memanggil namaku.

Rumah Arkan..
                Rumah Arkan memang terkesan mewah dan indah. Aku biasanya senang saat akan bermain di rumahnya. Tetapi kali ini tidak, rumahnya sangat kelabu, seperti tertutupi awan-awan hitam yang siap menurunkan berjuta tetes hujan di atasnya. Aku pun merasa setengah hati untuk masuk ke dalam rumah Arkan. Mbak Rini datang menghampiriku dengan matanya yang besar dan membengkak. Air mata masih mengalir deras di pipinya. Mbak Rini memelukku. Air mata yang sejak tadi masih tersimpan di dalam mataku pun tak bisa lagi aku bendung. Kesedihan mulai datang menyelimuti diriku. Jiwaku tak mampu lagi menahan beratnya duka yang ada di dalam hati. Ragaku mulai terasa lemas. Mbak Rini membawaku masuk ke dalam rumah, dan menuntunku menuju kamar Arkan. Saat aku sudah berada di kamar Arkan, jiwaku terasa melayang ketika melihat sosok yang selama ini selalu menjagaku dari kekejaman dunia, menemani hari-hariku sejak aku terbangun hingga aku terlelap, kini sudah tiada. Aku kehilangannya. Aku kehilangannya untuk selamanya. Dia takkan mengisi hari-hariku lagi dengan sejuta warna indahnya. Aku merasa seperti kelabu. Awan-awan yang sedari tadi menyelimuti rumah ini kini telah menurunkan berjuta air mata yang turun karena goresan luka dihati yang begitu mendalam. Tubuh Arkan terbaring kaku di atas tempat tidurnya. Tak ada lagi nafas yang terhembus dari mulutnya. Tak ada lagi senyum hangat darinya. Hanya ada kedinginan yang menemani kami di sini. Aku merasa hampa, kosong. Hatiku hancur menjadi butiran-butiran debu yang terjatuh hingga menuju relung hati yang paling dalam. Aku merasa aku takkan bisa lagi menemukan seorang sahabat sepertinya. Dialah laki-laki yang sangat aku sayangi dan aku cintai. Ya, aku baru sadar, aku tidak hanya menyayanginya sebagai seorang sahabat, tetapi aku pun mencintainya lebih dari itu. Detik demi detik yang aku lewati terasa begitu lama. Waktu sepertinya masih senantiasa memberikan kesempatan kepadaku untuk mengenang dan merasakan kenangan-kenangan indah yang terukir begitu melekat di dalam hatiku dan Arkan. Arkan, jika kau masih berada di sini, dengar suara hatiku ini, aku menyayangimu, aku mencintaimu wahai sahabatku. Aku pengen kamu tetap ada di sini. Apa kamu udah gak peduli lagi sama aku? Aku butuh kamu, Kan. Aku belum siap kalau harus jauh dari kamu buat selamanya.

Senja di hari itu..
                Sinar matahari mengantarkan kepergian Arkan ke tempat tidur terakhirnya. Kami masih diselimuti duka dan tangis. Bunga-bunga yang kami bawa pun terasa ikut menangis ketika harus merelakan kepergian sosok ksatria yang tegar namun berhati lembut telah pergi untuk selamanya. Arkan memang tegar dalam menghadapi kehidupannya. Meskipun dia selalu diikuti bayangan kematian. Tadi siang Mbak Rini bercerita kepadaku bahwa selama 15 tahun ini, Arkan menjalani hidupnya dengan harus menahan sakit yang dideritanya. Aku merasa terharu dan juga bersalah. Sebagai seorang sahabat, mengapa aku baru mengetahui sakit yang diderita Arkan pada hari ini? Hari di mana Arkan pergi meninggalkan kami semua untuk selamanya. Tapi memang, sebagai ksatria sejati, ia tak pernah mengeluhkan hal seperti itu. Ia sosok yang sangat kuat.
                Kelabu, hitam, dan kelam. Itulah warna yang tersirat dari tempat pemakaman ini. Burung-burung berterbangan, melantunkan alunan nada kematian. Do’a-do’a tak henti terucap dari hati dan mulut kami. Arkan, semoga kamu tenang ya di alam sana. Semoga semua kebaikan kamu bisa nolong kamu di sana. Semoga kamu gak bakal pernah lupa sama kami. Semoga kamu selalu ditemani malaikat-malaikat yang baik hati. Aku selalu berdo’a buat kamu. Kamu dengar semua yang aku bilang barusan kan?
                “Bel, Arkan titip surat ini buat kamu.” ujar Mbak Rani sembari memberikan surat untukku.
                Aku membaca surat yang tertulis di kertas putih itu. Aku membukanya dengan penuh perasaan. Aku membaca kata demi kata yang sahabatku tulis di kertas itu. Air mata kembali membasahi pipiku. Aku merasakan kasih sayang Arkan saat dia menulis surat itu. Aku pun seolah merasakan sakit yang selalu ia tutupi dengan hangat senyumnya. Dia menuliskan betapa bahagianya dia telah mengenal wanita sepertiku. Wanita yang menurutnya penuh dengan perhatian, keceriaan, dan selalu tersenyum meskipun hatinya sedang menangis. Arkan masih mengingat setiap kenangan yang telah kami lewati bersama. Semuanya memang terasa sangat manis. Ketika seorang sahabat selalu ada untuk kita. Entah itu saat kita bahagia maupun saat kita sedang merasakan duka yang sangat mendalam seperti saat ini. Meskipun Arkan takkan mungkin lagi hadir di sampingku, tetapi jiwanya selalu melekat dihatiku. Kalimat terakhir dalam surat itu adalah “Ikhlaskanlah kepergian ragaku ini. Percayalah, jiwaku selalu bersamamu. Aku masih akan selalu ada untukmu. Datanglah ke tempat tidur terakhirku ini jika kau sangat merindukanku, peri cintaku..”
                Aku akan merelakan kepergian ragamu ini. Aku lakukan demi kau, sahabatku. Aku harap persahabatan kita takkan berakhir sampai di sini. Meskipun kini kita tak lagi berada di dunia yang sama. Di sini, aku kan selalu merindukanmu. Dan kau di sana, tunggu aku. Aku akan bersamamu lagi bila tiba saatnya nanti.

22.00 ..
                Ku tutup hariku ini dengan do’a-do’a yang senantiasa terucap dari tulusnya hati. Arkan, ingin rasanya aku mengetahui bagaimana keadaanmu malam ini ? Baru saja kau meninggalkanku beberapa jam yang lalu, tetapi aku sudah merasakan kerinduan yang menyesakan. Tetapi kau tak perlu cemas. Aku masih mengingat kata-kata terakhirmu untukku. Aku akan melakukan apa yang kau inginkan. Tak lupa juga aku mendo’akan Ayah dan Ibuku. Semoga mereka baik-baik saja dan bahagia tanpaku di sana. Ayah, Ibu, aku ingin bertemmu dengan kalian. Aku ingin mengatakan bahwa sekarang aku sudah mulai menginjak remaja. Aku sekarang sekolah di SMA favorit.
Tuhan, ku mohon tolong sampaikan pesan-pesanku dan salamku untuk Ayah, Ibu, dan Arkan.